Liputan6.com, Jakarta – Data center tidak dimungkiri telah menjadi tulang punggung teknologi modern, mulai dari pelaksanaan edge computing hingga artificial intelligence. Terlebih, di tengah dunia yang semakin terhubung berkat digitalisasi.

Namun, seiring peningkatan permintaan data center secara eksponensial, ada tantangan yang perlu menjadi perhatian. Tantangan tersebut adalah kekurangan talenta digital di industri ini.

Saat ini, kebutuhan talenta di bidang TIK nasional mencapai sekitar 9 juta orang sejak 2020 hingga 2035, atau sekitar 600 ribu talenta per tahun. Jika industri data center membutuhkan 1 persen saja per bulan, berarti dibutuhkan 500 talenta yang bersertifikasi.

Sementara, berdasarkan data Indonesian Data Center Provider Organization (IDPRO), kondisi ini belum dapat dipenuhi oleh suplai tenaga kerja yang di pasaran. Padahal, data center nasional terus mengalami peningkatan permintaan volume dan kualitas layanan.

Lalu, laporan dari Uptime Institute memperkirakan setidaknya dibutuhkan 2,3 juta staf untuk menjalankan dan mengelola data center secara global pada 2025.

Diprediksi, permintaan sebagian besar berasal dari perusahaan raksasa internet dan penyedia layanan colocation di Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika.

Melihat kondisi tersebut, Schenider Electric secara aktif melakukan kerja sama lintas sektor, termasuk dengan pemerintah, swasta, asosiasi, individu, sekaligus media untuk menawarkan berbagai solusi untuk mengatasi kekurangan talenta digital di bidang data center.

Menurut Data Center Business Vice President Schneider Electronic Indonesia Yana Haikal dalam keterangan resmi, Sabtu (7/10/2023), ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menjembatani kesenjangan talenta data center.

Salah satunya adalah merangkul gig economy untuk memenuhi kebutuhan talenta teknologi. Seperti diketahui, gig economy ditandai dengan kontrak jangka pendek atau pekerjaan lepas yang saat ini dengan cepat mendapatkan popularitas dan menjadi umum di seluruh dunia.

 

 

Leave a Reply